Jakarta
- Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi
pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur.
Inilah kampung pengemis.
Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga
yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka
berasal dari Indramayu, Jawan Barat.
Dulunya
kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong. Namun
sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun
menggantikan tanaman singkong. "Sampai sekarang meski perkebunan
singkong sudah tidak ada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,"
kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.
Seiring
perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan ramai.
Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli "danger" sebab banyak residivis
yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini.
Selain
dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga
disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur
yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di
daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja
seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan
berkurang. Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis.
Mereka adalah warga Indramayu.
"Setiap
bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini
mengontrak rumah," ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada
detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan
untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi.
Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu
adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan
Jatinegara.
Tarif kontrakan milik Hanson
bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah yang ukurannya 3x6 meter
dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan. Untuk petakan yang di atas
yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang dikenakan Rp 150 ribu- Rp
250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya listrik.
"Biar
pengemis mereka bayar kontrakan selalu tepat waktu. Dan mereka
membayar dengan uang pecahan seribuan hasil mengemis. Sudah diiketin
duitnya sama mereka," celetuk Hanson sambil tersenyum.
Di
Kebon Singkong, terdapat ratusan kontrakan yang dihuni para pengemis.
Kalau bulan puasa tiba, jumlahnya makin banyak lagi. Sekitar 200-300
orang menyusul datang.
Para
pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan
kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan
mereka rata-rata per hari bisa dibilang lumayan. Mereka bisa
mendapatkan uang paling kecil Rp 200 ribu per hari.
"Seorang
pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam
sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang
sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari," ujar Hanson.
Omongan
Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu seorang
nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku kehilangan
celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan jumlahnya Rp
900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya.
"Bayangin
aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu. Kalau
sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek," kata pria asal Medan itu.
Sekalipun
dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan
seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara
rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.
Hanson
mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan
warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur
Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah
para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong. Alangkah
terkejutnya Hanson karena ternyata rumah mereka di kampung besar dan
rapi. Bahkan saat dia bertamu melihat perabotannya sangat wah. "Kamar
mandi saja ada bathtubnya. Malah ada yang punya kolam renang segala,"
kata Hanson takjub.
Dari
situlah Hanson dan sejumlah warga di Kebon Singkong maklum mengapa
dari waktu ke waktu, warga dari Indramayu banyak berdatangan. Mereka
ingin mengikuti jejak saudara atau tetangganya yang bisa hidup wah di
kampung hanya dengan mengemis.
Nuki Senan, juga
warga setempat, menjelaskan para pengemis yang tinggal di Kebon
Singkong kebanyakan orang-orang tua, cacat dan anak-anak. Sementara
bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput
para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang
buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa
apalagi dalam kondisi normal dapatnya sedikit. "Dapat Rp 30 ribu per
hari saja sudah syukur," ujar Nuki.
Jangan heran
jika orang-orang dewasa berasal dari desa tempat tinggal pengemis
lebih menggantungkan ekonomi kepada anak-anaknya. Mereka disuruh
mengemis. Hanya orang dewasa yang cacat yang justru mencari uang
sendiri karena kondisi itu akan menerbitkan empati.
Demi
mendapat empati, maka banyak orang buta di Kebon Singkong tidak mau
diobati. Mobil-mobil pelayanan penyakit katarak yang sempat datang ke
daerah itu selalu sepi peminat. "Mereka (orang buta) tidak mau diobati.
Sebab kebutaan mereka anggap sebagai aset untuk mengemis. Begitu juga
yang cacat," ujar Nuki.
Begitu berharganya orang
buta di kalangan pengemis sampai-sampai antar sesama pengemis sering
berselisih. Mereka berupaya mendapatkan mobil, ini merupakan istilah
untuk orang buta yang mengemis. Terkadang terjadi persaingan harga
sewa bagi pengemis buta ini.
"Di sini pengemis
buta banyak yang beristri lebih dari satu orang. Mereka (orang buta)
jadi rebutan karena dianggap sebagai aset untuk dapat uang,"
terangnya. Sekalipun wilayahnya banyak dihuni para pengemis, namun
warga setempat yang bukan pengemis tidak merasa terganggu bila dicap
sebagai kampung pengemis. Pasalnya, warga bisa ikut meraup berkah dari
para pengemis itu. Paling tidak, kata Nuki, �warung atau rumah
petakan jadi laku. �
Hubungan simbiosis mutualisme
antara pengemis dan warga membuat hubungan bertetangga di Kebon
Singkong berjalan harmonis. "Mereka tidak banyak berulah karena mereka
kebanyakan menghabiskan waktunya di luar. Datang ke kontrakan hanya
untuk istirahat saja," pungkasnya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar